Kamis, 22 April 2010

Kuliner dalam Dua Dunia: Rijsttafel dan Menu Penjara

Periode kolonial merupakan sebuah rangkaian panjang dalam peristiwa sejarah Indonesia. Periode ini bisa dikatakan ”rezim pembangunan” sekaligus zaman keemasan perekonomian. Banyak persilangan budaya terjadi karena bangsa asing yang menetap seperti orang-orang Eropa, Cina, India atau Arab. Silang budaya tidak hanya terjadi dalam unsur agama, kesenian, arsitektur ataupun yang lain, karena cita rasa kuliner Indonesia yang sampai saat ini masih kita nikmati ternyata mendapat pengaruh dari Eropa, khususnya Belanda serta Cina, Arab dan India. Bukan hanya mengenai cita rasa atau bentuk makanan saja, tetapi juga cara penyajian, resep memasak serta bagaimana cara penjualanya banyak mendapat pengaruh dari Eropa. Sampai akhirnya, kuliner pun merepresentasikan status sosial. Ada sebuah kejadian menarik yang dialami Desire Charnay, seorang Prancis yang berkunjung ke Jawa karena diutus oleh Kementerian Pendidikan Hindia Belanda pada 1878-1879. Begitu sampai di hotel, ia merasa jijik dengan hidangan yang disajikan. Hidangan tersebut berisi nasi, sayur kari, telur dadar, ikan asin, ikan rebus, daging ayam, daging kambing, bistik. Hidangan itu masih dihiasi dengan ketimun dan atasnya diberi sambal serta acar (Dorléans, 2006: 497). Hidangan yang disajikan hotel tadi kepada Desire Charnay sesungguhnya merupakan jenis makanan mewah saat itu. Karena makanan tadi hanya dapat dinikmati oleh kalangan atas saja.

Sajian yang “dinikmati” oleh Desire Charnay tadi, sejatinya termasuk kategori tradisi rijsttafel (rice table). Sebuah hidangan yang menjadi menu utama bagi warga Belanda dan juga disetiap hotel mewah. Rijsttafel dihidangkan setiap makan siang dan makan malam. Menu rijsttafel sendiri beraneka ragam, ada yang berupa nasi soto, nasi goreng, gado-gado, nasi rames, lumpia, dll. Dalam literatur lain mengungkapkan bahwa rijsttafel ini berisi nasi beserta lauk pauknya yang begitu banyak yang diantarkan oleh puluhan djongos menggunakan baki perak. (Sunjayadi, 2008). Menu-menu yang dihadirkan dalam tradisi indische rijsttafel tadi masih disajikan di restoran-restoran Belanda (Soekiman, 2000: 61).

Salah satu hotel yang paling gemar menyajikan sajian rijsttafel adalah hotel Des Indes (sekarang hotel Duta Indonesia). Hotel tersebut sering menyajikan menu rijsttafel untuk para tamunya. Antara lain terdiri dari hidangan nasi putih, sambal hati, sayur lodeh, opor ayam, sate, tempe goreng, gado-gado, telur mata sapi, sayur asam, gulai kambing, sup kacang merah, soto, rawon, rendang dsb. Munculnya masakan rijsttafel memang datang secara tiba-tiba. Keharusan para koki untuk mampu memasak hidangan ala Eropa dan Indonesia dikalangan keluarga-keluarga kaya menjadi faktor penting adanya rijstaffel. Rijstaffel menjadi menu wajib dan termahsyur di abad 19, terutama di kalangan para bangsawan Eropa, khususnya orang-orangnya Belanda (Dorléans, 2006: 487).

Dalam tulisannya mengenai sejarah kolonial, Onghokham menjelaskan bahwa orang Belanda lebih memilih rijsttafel disajikan dalam kondisi panas, sedangkan orang Jawa lebih senang makan apabila nasinya sudah dingin atau hangat. Kenikmatan rijstaffel semakin memuncak dengan tambahan menegak bir. Masyarakat Belanda memang gemar meminum bir. Selain bir, mereka juga meminta agar dalam penyajian rijsttafel ditemani hidangan berupa pisang goreng (Onghokham, 2003: 311-314).
Apa yang terdapat dalam rijsttaffel bukan sekedar sajian pengenyang perut. Risjttafel yang merupakan kuliner hasil persilangan dua budaya dapat diartikan sebagai pamer kemewahan. Hanya kalangan bangsawan, pejabat penting dan orang-orang Belanda saja yang dapat menikmati hidangan ini. Selain itu, mewah tidaknya sajian dalam risjttafel juga menunjukkan strata penikmatnya. Pamer kekuasaaan yang dipraktekkan oleh para elite ditunjukkan dengan banyaknya hidangan yang ada dimeja, terutama nasi. Rijsttafel menghadirkan citra strata sosial dalam sebuah opera. Dalam hal ini orang-orang Belanda menjadi aktor utama, sedangkan pribumi sebagai djongos. Risjttafel muncul sebagai simbol kekuasaan. Entah itu sebuah gaya hidup yang menjadi keharusan bagi para keluarga-keluarga Eropa atau sebuah makanan yang fungsinya sebagai pengisi perut.

Di sisi lain, kemewahan cita rasa kuliner juga terdapat dalam hotel prodeo. Dalam buku Susunan Pidana dalam Negara Sosialis Indonesia (1964) karya R.A Koesnoen, disebutkan perbaikan jatah makanan yang terjadi di tahun 1856 ternyata tidak menimpa tahanan pribumi. Hanya jatah makanan bagi tahanan Eropa saja yang diperbaiki. Sesuai peraturan jatah makanan yang tertuang dalam Statblad 1829 Nomor 73. Sajian makanan untuk tahanan pribumi (termasuk golongan Tionghoa) hanya mendapat nasi dan garam setiap dua hari sekali. Selain itu mereka juga menyantap setengah pon ikan kering atau daging kerbau, sayuran, bawang merah dan sedikit merica. Mengenai menu khusus bagi tahanan berkewarganegaraan Eropa. Setiap pukul enam pagi, mereka menikmati roti serta kopi. Saat makan siang para tahanan Eropa menyantap nasi kentang, sayur, sup, daging, ikan dan kerry. Pukul empat sore, mereka mendapat jatah makanan sesuai hidangan saat makan siang.
Di tahun 1870-1905, terjadi lagi perubahan jatah makanan bagi tahanan Eropa. Perubahan tadi dilaksanakan sesuai dengan Statblad 1871 Nomor 78. Pada tahun 1877, tahanan Eropa tadi setiap hari mendapat 9,20 pon roti, 0,35 pon nasi, 0,20 pon sayur, 0,003 pon lemak sapi, 0,005 pon kerry, 0,002 pon lombok, 0,02 garam, 0,001 pon lada, 0,015 pon kopi dan 0,004 teh hitam. Dalam enam kali seminggu mereka mendapat 0,20 pon daging sapi dan 0,20 pon kentang. Selain itu masih ditambah lagi dengan jatah 0,15 daging babi, 0,25 pon kapri hijau dan 0,025 ikan cuka dalam sekali seminggu. [Toufik Nur]

Sumber:

Achmad Sunjayadi, “Kuliner dalam Pariwisata Kolonial di Hindia Belanda”, dalam Djoko Marihandono (ed.), Titik Balik Historiografi di Indonesia. Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2008.

Dorléans, Bernard., Orang Indonesia & Prancis Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2006.

Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis. Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000.

Onghokham, The Thugs, the Curtain Thief, and the Sugar Lord: Power, Politics, and Culture in Colonial Java. Jakarta: Metafor, 2003.

Andreas Maryoto. “Jejak Kuliner di Hotel Prodeo,” Kompas, 17 Desember 2009. hlm. 60.

Komunitas Tionghoa di Surabaya

Judul : Komunitas Tionghoa di Surabaya
Penulis : Andjarwati Noordjanah
Penerbit : Ombak, Yogyakarta 2010
Tebal : 150 halaman.

Berbicara mengenai orang-orang tionghoa maupun komunitas tionghoa di indonesia merupakan kajian yang sangat menarik sekaligus pelik, disebut menarik karena komunitas ini dibenak penduduk pribumi (inlander) sering dianggapnya sebagai golongan sub-ordinasi yang terdiskriminasikan, dan disebut pelik karena komunitas tionghoa merupakan komunitas asing yang ada di indonesia diantara komunitas-komunitas yang lain yang permasalahanya sangat kompleks didalamnya mulai dari latar belakang mereka, posisi mereka, status mereka dan yang terakhir masalah kewarganegaraan. Berangkat dari permasalaan tersebut apakah benar paradigma maupun stereotip yang menyatakan bahwa komunitas tionghoa hanyalah sekumpulan oportunis yang menginginkan kekayaan tanpa prinsip kepedulian apapun terhadap masyarakat dan politik sekitarnya? Seperti yang dianggap penduduk pribumi (inlander) dan di gembor-gemborkan oleh mesin politik rezim orde baru.

Membaca buku “komunitas tionghoa di surabaya “ karya Andjarwati Noordjnnah ini seakan kita diajak untuk merenungi kembali tentang eksistensi komunitas Tionghoa di Indonesia, yang dalam rezim orla maupun orba banyak kenyataan sejarah yang ditutup-tutupi atau secara tidak sengaja terlupakan oleh masyarakat kita. Andjarwati melalui buku ini berusaha mencoret paradigma tersebut dengan mencoba mengungkap peran etnis Tionghoa yang tidak kecil dalam ranah politik dan ekonomi.

Buku ini mendiskripsikan persebaran dan aktivitas masyarakat tionghoa di kota Surabaya. Buku ini menfokuskan pada kajian aktivitas perekonomian komunitas tionghoa pada masa kolonial. Suarabaya sebagai setting yang diangkat penulis merupakan salah satu kota penting di jawa dan kota tertua di indonesia. Disamping itu Surabaya memegang peranan penting sebagai pintu masuk pulau jawa bagi para pedagang hingga pelancong selain Batavia. Buku ini secara khusus dan terperinci memuat pembahasan tentang keragaman asal-usul tionghoa yang terdiri dari berbagai suku bangsa, seperti hokkian, hakka, dan teo-chiu (hal.41-44), perbedaan antaara orang tionghoa totok (singkeh) dengan tionghoa peranakan (hal.45-50) ragam stratifikasi sosial mereka (hal.50-54), agama dan kepercayaan (hal.55-57), organisasi-organisasimasyarakat (hal.57-62), pekerjan mereka (hal.63-38), dan para pemimpin komunitas tionghoa (hal.69-72). Hal lain yang diangkat dari buku ini adalah berbagai pengaruh kebijakankan pemerintah kolonial terhadap tionghoa di surabaya sejak pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, pendudukan jepang, dan kebijakan diera kemerdekaan. [Ghofur]